Aku masih ingat betapa terkejut ayahku ketika kukatakan padanya aku mau menikah. Beliau tak menyangka anaknya yang baru wisuda sarjana...

Andai Aku Tidak Menikah Hingga Lulus S2 ...

lagi senang karena blognya baru sampai 1.000.000 PV

Aku masih ingat betapa terkejut ayahku ketika kukatakan padanya aku mau menikah. Beliau tak menyangka anaknya yang baru wisuda sarjana bisa kepikiran untuk berkeluarga. Mungkin dalam bayangan beliau, aku baru akan terpikir untuk menikah setelah lulus S2 nanti.

“Gak mau ambil S2 dulu?”

“Tentu saja aku mau. Tidak mungkin orang yang bercita-cita jadi penemu sebuah teori matematika penting yang dipelajari di seluruh dunia sepertiku tidak mau lanjut S2. Hanya saja menurutku menikah lebih penting saat ini.”

“Memangnya kamu sudah siap?”

Pertanyaan itu membuatku terdiam sebentar. Soal dana bagiku bukan masalah. Karena selalu menyisihkan sedikit uang sejak pertama kali punya penghasilan dan benar-benar jarang malam mingguan, aku punya cukup dana untuk mengadakan walimah, menyewa sebuah rumah dan melakukan hal-hal yang perlu dilakukan sebelum menikah.

Tapi jika yang dimaksud ayahku adalah kesiapan mental, aku harus berpikir dua kali. Untuk menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu aku harus tahu kapan seseorang dikatakan siap? Apakah seseorang dikatakan siap ketika dia sudah punya rumah, mobil dan jaminan hari tua? Ketika seseorang punya pekerjaan dan gaji tetap? Atau ketika seseorang sudah lulus kuliah dan punya ijazah sarjana?

Jika tanda seseorang layak menikah adalah ijazah sarjana, maka jelas aku sudah layak. Tapi sejauh yang kupelajari, ijazah, pekerjaan dan gaji yang tinggi yang pernah bisa menjamin kelangsungan dan kebahagiaan hidup seseorang. Jadi, apakah aku belum siap dan masih harus menunggu? Bisa jadi, tapi jika aku masih harus menunggu, apa yang harus kutunggu? Bukankah kesiapan bukan untuk ditunggu?

Setelah pergulatan batin itu, aku pun meyakinkan diriku dan bilang, “Aku sudah siap.”

Diskusi berlanjut. Ayahku bilang aku harus ambil S2 dan kelihatan beliau benar-benar serius soal ini. Aku bilang uang tabunganku tidak cukup untuk menikah dan S2 sekaligus. Ayahku berpikir kemudian bilang beliau bisa bayarkan biaya masuk dan uang kuliah semester pertamanya tapi aku yang harus meneruskan sisanya. Kemudian aku pun berpikir pula.

Setelah berbagai pertimbangan (yang tidak begitu banyak) aku memutuskan untuk menerima tawaran ayahku. Itulah bagaimana aku mengawali kehidupanku berumah tangga sambil kuliah S2 di umur yang belum genap 24 tahun.

MENIKAH SAMBIL KULIAH

Tidaklah usah kuceritakan apa saja yang harus kuhadapi untuk menyukseskan akad dan walimah pernikahanku. Yang perlu kalian ketahui adalah hidup terasa lebih indah setelah menikah. Rasanya lebih tenang. Apa yang dulu selalu jadi kekhawatiran kini tak lagi mengganggu kami berdua.

Aku masih belum punya pekerjaan tetap tapi hasil penjualan novelku yang baru terbit cukup bagus. Gaji istriku sebagai guru TK juga terbilang lumayan. Jadi kami tidak pernah kekurangan untuk jalan-jalan dan pacaran.

Sebagai pasangan muda, kami rasa kami telah buktikan jika niatnya untuk menjalankan perintah agama, menikah muda tidak akan menakutkan seperti yang dipropagandakan sinetron Pernikahan Dini dan Keluarga Berencana (KB). Sebaliknya, menikah muda itu asyik dan seru.

Tentu saja masalah selalu ada. Ada suatu masa di mana aku harus menunggu sebuah pesanan masuk hanya untuk membeli bensin. Ada suatu masa di mana istriku harus bekerja di hari libur. Tapi di akhir masalah-masalah itu, aku selalu bisa menyaksikan akhir yang indah dan kadang ajaib.

Satu di antara kisah yang paling ajaib terjadi di awal semester tiga,

KETIKA SAATNYA BAYAR UANG KULIAH TIBA

Itu adalah hari terakhir pembayaran uang kuliah semester tiga S2-ku. Karena tidak punya uang simpanan sama sekali, waktu itu aku berniat untuk cuti. Teman-temanku di kampus yang mengetahui rencanaku itu menawariku pinjaman agar aku dapat terus kuliah tapi karena semester sebelumnya mereka telah membantuku dan karena kali ini aku tidak punya dana sama sekali, aku merasa tidak enak untuk menerima pinjaman mereka. Jadi aku putuskan untuk tetap cuti.

Besoknya aku datang ke kantor program studi untuk mengurus surat cuti. Di sana aku mendapat dua kabar, satu baik, satu buruk. Kabar buruknya, cuti itu tidak gratis. Kuliah atau cuti, aku tetap harus bayar sejumlah uang. Jumlahnya tak sebesar uang kuliah tapi tetap saja bayar. Kabar baiknya, aku punya waktu satu bulan untuk mencari uang dan melunasi tagihan uang kuliahku. Tapi yang benar saja? Satu bulan?

Saat itulah kepalaku mulai berdenyut. Bagaimana cara mencari uang yang tidak berhasil kukumpulkan dalam enam bulan hanya dalam satu bulan? Ini gila, ini misi gila dan sebuah misi gila tak akan bisa selesai kecuali dengan cara-cara yang gila juga. Jadi aku mulai menggila.

Saat itu aku melakukan apapun yang kupikir akan menghasilkan uang. Aku tawarkan gamis toko onlineku lebih rajin. Aku promosikan novelku lebih sering. Aku jual buku-buku koleksi pribadiku di bazar. Pokoknya apapun yang kutahu akan menghasilkan uang.

Aku yang saat itu berstatus sebagai guru yang mengajar 34 jam seminggu di sebuah madrasah bahkan membolos tanpa izin. Tentu saja hal ini tidak dapat dibenarkan pihak madrasah dan aku akan menerima konsekuensi perbuatanku nantinya tapi demikianlah gelapnya pikiranku waktu itu.

Setelah satu minggu berlalu, sejumlah uang terkumpul. Tapi aku butuh lebih dari sepuluh kal lipat jumlah itu untuk membayar uang kuliahku. Seolah itu belum cukup untuk membuat kepalaku berdenyut lebih keras, minggu berikutnya aku dipanggil menghadap kepala madrasah. Kata beliau, “Kalau masih mau lanjut mengajar di sini, jangan ulangi lagi perbuatanmu itu ya!”

Dahsyat kan? Pilihanku saat itu ada dua:
  1. Tidak lagi bolos mengajar, menerima gaji yang telah dipotong seminggu ketidakhadiran, dan merelakan studi S2 karena tidak punya waktu untuk mencari uang kuliah atau ...
  2. Melepaskan statusku sebagai guru berikut gaji tetapnya sambil mencari usaha lain walau hasilnya tak pasti.
Dengan anak berumur satu bulan dan istri yang harus diberi nafkah, pilihan itu sungguh tak mudah. Ia membuatku pusing dan bertanya-tanya,

MENGAPA AKU BERANI MENGAMBIL KEDUANYA SEKALIGUS?

Mengapa dulu aku berani menikah sekaligus ambil S2 tanpa tabungan memadai? Mengapa aku tidak bersabar terhadap salah satu dari keduanya waktu itu? Mengapa aku percaya akan selalu ada jalan?

Jawaban pun datang dari dalam diriku sendiri, “Aku mengambil keduanya karena rezeki setiap orang telah diatur. Aku mengambil S2 karena malaikat menaruh sayapnya pada orang yang ikhlas menuntut ilmu. Aku menikah karena ia adalah sunnah Nabiku.”

Aku menikah karena aku percaya Allah akan menjadikan kami kaya jika kami miskin. Jadi apa yang harus kukhawatirkan?

Kalian boleh bilang aku gila tapi aku mengambil pilihan kedua. Dengan pilihanku itu aku coba mengatakan pada Dia yang menggenggam ubun-ubunku, “Aku tidak berharap pada siapapun kecuali Engkau, aku tidak punya penolong lain selain Engkau, maka kumohon tunjukkanlah kuasa-Mu, tolonglah aku.”

“Ya Allah, semua terserah Engkau. Kalau Engkau ingin aku jadi matematikawan, Engkau pasti punya cara. Kalau Engkau punya rencana lain untukku, aku percaya rencana itu lebih baik dari rencanaku.”
Dan besoknya tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk,
“Bib, Hari Selasa nanti bisa ngisi materi tentang blog?”

Segala puji bagi Allah yang telah menjanjikan kekayaan pada mereka yang menjalankan sunnah Nabi-Nya. Sejak hari itu, aku yang telah berbulan-bulan tidak diundang jadi pelatih penulisan blog tiba-tiba diundang kembali untuk melatih guru-guru membuat blog. Undangan-undangan itu datang silih berganti, habis satu pelatihan datang yang berikutnya. Alhamdulillah. Setelah 7 hari melatih pembuatan blog di tiga tempat berbeda, akhirnya aku bisa melunasi uang kuliah semester tiga S2-ku tepat pada waktunya!

Seru kan? Itu baru satu cerita, masih banyak cerita lain yang lebih seru dan lebih ajaib yang bisa kubagi pada kalian tapi kurasa aku akan menulisnya di lain kesempatan. Nah, andai aku tidak menikah hingga lulus S2 seperti tokoh berjilbab di iklan fair n lovely, mungkinkah aku mengalami kisah seindah ini?