Aku sedang keluar bersama pacarku namanya Rizki. Aku benci dia. Sebenarnya aku suka melihatnya tapi dia jorok. Aku mengatakan jorok s...

Cerpen - Mantan Terakhirku


Aku sedang keluar bersama pacarku namanya Rizki. Aku benci dia. Sebenarnya aku suka melihatnya tapi dia jorok. Aku mengatakan jorok secara harfiah. Dia tidak tahu bagaimana bergaya, menjaga penampilan dan membersihkan kamarnya. Pernah suatu ketika pacarku ini kentut di dalam bioskop. Awalnya aku sih tidak tahu sampai beberapa orang di belakang menegur kami karena kebauan. Aku malu sekali.

Belum pernah ada rasanya pacarku yang sejorok ini sebelumnya. Aku jadi teringat pada mantaku sebelum Rizki, namanya Jaka. Jauh sekali rasanya kalau aku membanding-bandingkan Rizki dengannya. Jaka selalu tampak rapi kapanpun dimanapun. Wajahnya selalu bersih dan terlihat tersenyum, susah membayangkannya cemberut karena aku tak pernah melihatnya begitu. Ia selalu pakai setelan terbaik tiap kali jalan denganku. Tak jarang ia membantuku memilih pakaian yang cocok. Ia juga tahu menyesuaikan sikap dengan orang tua dan teman-temanku. Laki-laki yang satu ini memang yang terhebat diantara semua lelaki. Pokoknya dia sempurna. Beruntung sekali aku pernah mendapatkannya.


Kalau kuingat-ingat lagi aku jadi heran sendiri, kenapa waktu itu aku bisa jadian sama Rizki ya? Hmm… Oh iya, aku ingat! Aku pernah satu panggung sama dia waktu Pensi Sekolah tahun lalu. Aku MC-nya dan kebetulan dia drummer dari salah satu band yang manggung. Tapi kenapa pula aku suka sama dia? Kenapa kurasa aku kayak ngeliat pangeran waktu itu? 

Aku jadi tak habis pikir. Padahal kayaknya aku bukan tipe cewek yang gampang jatuh cinta deh. Aku gak mudah jatuh cinta pada seorang cowok karena hal sepele seperti suara, bakat atau penampilannya aja. Apa lagi waktu itu masih ada Jaka, cowok paling sempurna yang pernah ada. Pasti dia pake dukun nih. Iya bener, pasti begitu.

Setelah belakangan aku tahu kalau Rizki itu jorok banget, maka pelan-pelan aku pergi ngejauhin Rizki. Alergi juga lama-lama aku dibuatnya. Tapi sayangnya seperti jamur di jempol kaki, dia balik melulu. Jadi, udah aku putuskan malam ini aku harus putusin Rizki. Hidup aku terlalu berharga untuk aku sia-siain sama laki-laki kayak dia. Cowok jorok yang gak tau gimana harus berpenampilan di depan seorang perempuan.


Kami tiba di taman Bukit Asri. Rizki menggandeng dan menarik tanganku ke arah sebuah air mancur di tengah taman tanpa tahu aku sudah menahan nafas karena bau menyengat jaketnya. Setelah bercerita panjang lebar soal harinya yang tak pernah berubah dan membelikanku es krim aku mulai bicara. 

“Sebenernya kita udah gak cocok Riz.”

Sepertinya Rizki mengerti arah pembicaraanku, rona wajahnya langsung berubah, senyumnya hilang berganti kerutan di dahinya. Sepanjang satu setengah jam berikutnya Rizki terus memohon. Aku sempat kasihan juga melihatnya tapi kemudian aku sadar, memang seperti inilah laki-laki jika seorang wanita cantik akan memutuskannya. Aku harus kuat. Aku pantas dapat laki-laki yang lebih baik, yang bisa menghargai aku dengan sepantasnya. Pada akhirnya Rizki menyerah, aku senang ini sudah selesai kemudian Rizki mengantarku pulang.

Sesampainya di rumah aku merasa kasihan lagi dengan Rizki. Sepertinya aku terlalu kejam padanya. Ah, tapi laki-laki seperti itu memang harus diberi pelajaran. Dia tak akan dapat seorang wanita pun kalau ia tak bisa mengahrgai perempuan seperti yang seharusnya. Dengan begini ia akan belajar menjadi laki-laki yang lebih baik. 


Tak terasa dua bulan sudah berlalu, kini aku sudah punya pacar baru. Padahal aku tidak buru-buru mencari pengganti tapi mungkin karena aku cantik, mana ada laki-laki yang tahan melihat aku jomblo. Mereka pun langsung datang memburuku.

Namanya Dimas, dia seorang guru privat. Ayahnya seorang pengusaha tambang tapi Dimas lebih suka mencari uang sendiri ketimbang minta pada orang tua, sepertinya ia sangat mandiri dan bertanggung jawab. Dimas juga cukup pintar untuk mengimbangi bicaraku. Tampangnya cukup keren untuk kubawa ke mall. Beberapa kali aku menangkap basah perempuan lain bermain mata dengannya waktu kami jalan. Aku harus ekstra hati-hati menjaganya.

Suatu malam Dimas mengajakku jalan. 
“Mas, jemput aku di rumah setengah jam lagi ya?”
“Maaf ya yank, aku mau nganter sepupu aku ke bandara sekarang ini.”
“Lho, katanya kamu rela ngelakuin apa aja buat aku?”
“Iya, tapi kan ini saudara aku yank.”
“Emang aku bukan calon istri kamu?”
“Kok kamu jadi ngomong gitu? Kamu suka atau gak suka aku bakal anter sepupu aku dulu, kalau kamu gak mau nunggu ya terserah. Dua jam lagi aku sampe di rumah kamu.”

Aneh, kok Dimas jadi begini ya? Apa gara-gara sepupunya? Baru kali ini ada cowok yang bikin aku nunggu. Tapi biarlah, ntar aku bakal minta beliin boneka yang lebih mahal dari punya Yanti. Sepanjang sisa dua jam itu kuhabiskan dengan teleponan sama Yanti.

Kini sudah dua jam berlalu, lewat lima menit, lewat sepuluh menit, lewat dua puluh menit. Mana dia? Katanya mau datang dua jam lagi. Wah wahh.. ini cowok cari perkara sama tuan putri. Apa dia pikir karena dia punya banyak duit terus dia bisa ngatur-ngatur dan buat aku nunggu gitu?

Dua puluh lima menit. Apa dia gak tau cewek itu gak tenang pikirannya kalau disuruh nunggu gini? Apa dia gak ngerti cewek itu gak boleh disuruh nunggu? Dimas, Dimas.. Kamu itu ganteng tapi kok begini sih.

Tiga puluh menit. Dimas muncul dibalik pagar. Sebenarnya aku masih marah tapi agak tenang juga rasanya melihat dia akhirnya datang. Aku pun pasang muka kesal seperti bara kena siram air.

“Maaf ya yank, agak telat.”
Aku diem aja dan langsung naik ke mobil.
“Kamu dah makan?” Dia mencoba memulai mencairkan suasana.
“Belum.” Jawabku singkat.
“Mau makan?”
“Gak!”
“Ohh, jalan kemana kita malam ini?” 
“Terserah!”
“OK lah, kalau gitu mukanya jangan cemberut terus dong. Pasang sabuk pengaman ya.”

*** 


Dan satu hal yang harus kalian tahu, malam itu tidak berjalan dengan baik. Kalian harus tahu, malam minggu itu Dimas betul-betul gak ngebeliin aku makanan karena aku bilang gak lapar. Malam itu Dimas kayak bener-bener gak tau aku sedang merajuk. Sepertinya aku baru menyadarinya, walaupun mandiri dan ganteng Dimas itu gak tau gimana menghargai wanita.

Dimas adalah seorang laki-laki paling bodoh yang pernah kukenal. Kalau begini perlakuan Dimas sama seorang cewek aku masi lebih milih Rizki. Biar pun dia agak jorok, sebenarnya kalau dimandiin dia cukup bersih. Harusnya aku aja yang buat dia jadi lebih bersih. Sayang kali rasanya, padahal dia itu perhatian kali sama aku, gak pernah bikin aku nunggu apa lagi bikin aku kecewa. Jadi nyesal rasanya mutusin Rizki.

Oh Dimas, kenapa lahh Tuhan harus menciptakan cowok sebodoh dirimu? Kalian harus tau, di malam waktu dia telat ngejemput aku itu, dia mengajakku ke Taman Bukit Asri. Aku tahu tempat itu memang indah sekali. Mungkin baginya itu juga tempat paling indah yang pernah ia datangi. Tapi apa dia gak tahu, tempat itu tidak begitu istimewa bagiku. Apa dia tak tahu aku sudah terlalu sering pergi kesini bersama pacar-pacarku sebelumnya. Apa lagi itu tempat kenangan terakhirku sama Rizki, jadi sedih rasanya.


Sekarang aku dapat pelajaran baru. Hidup kita jauh lebih sia-sia kalau kita habisin sama orang yang gak tau gimana menghargai seorang perempuan. Apalagi perempuan cantik kayak aku. Kalau Dimas gak bisa senengin aku, akan aku buktiin aku bisa dapet lebih dari dia.

Disitu ada kemauan disitu ada jalan. Tidak berapa lama waktu berselang, aku bertemu dengan Roki, Roki adalah temannya pacar temanku. Aku bersumpah dia ini adalah tipe cowok idaman. Tiada lagi yang lebih sempurna. Baik, bersih, berbudi. Aku berani jamin, dia punya semua sifat terbaik yang semua mantanku pernah punya. Ganteng, kaya, tampilan modis, tepat waktu, dan yang paling penting dia tau banget gimana memperlakuin perempuan. 

Tanpa sepengetahuan Dimas, Roki selalu membawa coklat setiap datang malam minggu menjemputku. Dia tak lupa tanggal ulang tahunku waktu Dimas lupa. Dia selalu membukakan pintu mobilku, membawa belanjaanku setiap kami jalan-jalan, dan dia juga tahu begaimana merayu dan membesarkan hatiku dan pandai membujuk kalau aku lagi merajuk. 

Singkat cerita, aku telah jadian diam-diam dengan Roki. Kurasa Dimas juga mulai curiga karena aku juga mulai berani terang-terangan, supaya pelan-pelan Dimas tahu kalau aku cuma pantas buat Roki. Dan sepertinya itu berhasil.


Malam itu pas sedang giliran Roki yang aku bolehin malmingan. Sepanjang malam kami habiskan dengan makan, belanja dan nonton berdua. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Harusnya aku sudah sampai di rumah sejam lalu, ayah bisa marah, tapi tak apalah. Minggu lalu aku juga pulang terlambat, sebenarnya ayah mau marah besar malam itu tapi melihat Roki membawa martabak mesir kesukaannya, ayah cuma bisa bilang “Besok jangan lagi ya!” Sudah kubilang kan dia sempurna.

Aku sedang memperhatikan lampu jalan yang kekuningan waktu Roki mengantarku pulang. Tiba-tiba Roki menghentikan mobilnya. Dia bilang “Yank aku pingin cium bibir kamu yah!” 

Aku kaget, “Ih, kamu ngomong apaan sih, gini-gini aku masih suci tahu.”
“Ayo dong yank, udah biasa lagi. Ntar pasti kamu mau.”
“Nanti aja ya, Rokiku sayang! Nanti kalau kamu udah jadi suami aku baru puas-puasin.”

Aku terus menahannya tapi Roki bilang dia gak tahan lagi. Setelah sebulan lebih pacaran, tadinya kukira Roki bukan laki-laki yang suka begituan. Padahal pakaianku biasa aja, lengan bajuku sampai ke siku, rokku sampai ke lutut, hanya sedikit parfum dan bedak, apa memang semua laki-laki pikirannya kotor?

Sampai detik terakhir ia terus membujuk, sampai detik terakhir aku juga terus menolak. Aku gadis yang bersih. Walaupun tidak berjilbab tapi begini-begini aku juga paham agama. Ciuman itu dilarang! Aku mengancamnya akan teriak kalau ia terus memaksa, sayangnya aku baru ingat, jalanan sudah sepi jam segitu. Aku mengancam putus tapi dia mengancam tidak akan mengantarku pulang. Aku terdiam.

Aku cuma bisa terdiam di kursiku. Roki menciumku. Ciuman pertama yang tak kuinginkan. Habis sudah. Habis sudah kesucian bibir ini direnggutnya. … … … … … 


Setelah puas, ia minta maaf. Permintaan maaf terbodoh yang pernah kudengar. Aku tak mempedulikannya sekaligus kecewa. Setelah singgah membeli martabak mesir ayah ia mengantarku pulang.


Malam itu aku tak bisa tidur. Aku telah dinodainya, pria baik macam apa yang menodai pacarnya sebelum dinikahinya. Tapi ia sungguh baik! Mana yang benar?

Bibirku jadi najis sudah. Aku pun benci melihatnya saat bercermin. Aku mencucinya berkali-kali tapi sepertinya masih saja lengket. Oh jijiknya aku. Kenapa tega-teganya dia melakukan ini padaku. Apa benar semua laki-laki seperti itu? Kenapa sepertinya aku selalu berjumpa dengan laki-laki kurang ajar. Apa aku tak pantas untuk laki-laki yang lebih baik? Kalau begini masih mending si Dimas, walaupun dia membuatku menunggu, tapi setidaknya dia masih tahu bagaimana menghormati martabat perempuan. Dia tidak berusaha menciumku atau memelukku. 

Roki si mesum. Dasar si otak mesum. Kemarin kau sudah ambil bibirku, besok apa lagi yang kau renggut? Aku kira kau benar-benar sayang. Ternyata semua itu ada maunya. Ternyata memang susah jadi cewek cantik.

Ternyata memang susah jadi cewek cantik. Karena banyak yang suka, jadi susah nentuin mana yang beneran baik mana yang kurang ajar. Tapi gak salah perempuan dong, kenapa rupanya kalau kami mau tampil cantik. Emang dasar cowok aja yang bego. Senyum dikit dikira suka. Perhatian dikit dikira ada rasa. Serba salah.


Aku jadi rindu mantan terakhirku. Yang selalu ada waktu aku ketawa atau nangis, yang selalu berusaha menghibur aku walau aku gak pernah terhibur, yang udah maafin aku waktu aku bilang baju yang dia kasih waktu ulang tahunku jelek. Aku rindu Dimas yang selalu ngejaga kehormatanku. Aku baru sadar kalau aku cinta Dimas yang berusaha mengerti aku walau ia tak mengerti bagaimana memanjakan wanita.

Sekarang aku menyesal telah memutuskannya tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur menggandeng Roki di depan Dimas untuk membuatnya cemburu. Setelah melihatku bersama Roki, sekarang Dimas sudah menemukan penggantiku. Aku pun hanya bisa pura-pura bahagia bersama Roki di depannya untuk menjaga gengsiku. Oh!! Andai waktu bisa kembali.